Sempat Menjadi Kuli Bangunan

Setelah lulus SMA, saya dan keluarga memutuskan untuk boyongan ke daerah tempat saya dilahirkan. Kabupaten Malang adalah tempat, dimana saya melihat dunia untuk pertama kalinya.

Jadi, ceritanya dulu setelah saya dilahirkan tak lama kemudian Ibu dan Ayah saya merantau ke Pulau Sumatera. Tepatnya berada di Provinsi Jambi. Saya tumbuh dan besar disana, sampai pada akhirnya masa-masa SMA berhasil saya lewati di tempat perantauan itu.

Nah, itulah kisah singkat dari perjalanan hidup saya.

Hehe, maaf ya kalau bahasanya agak sedikit njelimet.

Beberapa minggu setelah saya berada di Malang, saya dihadapkan dengan satu situasi yang mengharuskan saya untuk menjadi seorang Kuli Bangunan.

Pada saat itu, saya adalah seseorang yang tinggal berdua dengan Ibu saya. Ayah saya sudah terlebih dahulu meninggalkan kami. Beliau mengalami sakit yang cukup parah dan akhirnya meninggal disaat saya kala itu berumur 14 tahun.

Saya mempunyai dua saudara yang lain, tetapi mereka sudah lama tidak berada satu atap bersama kami.

Content

Awal Cerita dibalik Profesi Seorang Kuli

pexels.com

Semua properti milik kami telah ludes terjual. Rumah, tanah, serta kebun kami telah menjadi hak milik orang lain. Kami sengaja menjual harta benda tersebut karena kami ingin menetap untuk jangka waktu yang lama di Malang.

Saya dan juga Ibu telah membangun beberapa plan yang kami siapkan ketika sudah berada di Malang.

Rencana tersebut salah satunya adalah membangun rumah. Walaupun hanya kecil-kecilan, tetapi setidaknya kami bisa ayem kalau sudah tinggal di rumah sendiri. Dan alhamdulillah, lokasi yang akan dipakai untuk didirikan bangunan tersebut berada disamping rumah saudara saya sendiri.

Dana yang kami bawa dari hasil penjualan aset yang berada di Jambi tergolong sangat minim, jika dibandingkan dengan harga tanah dan material yang ada pada saat itu.

Tuhan memang tidak pernah tidur, Tuhan juga tidak pernah keliru dengan seberapa takaran rizky yang akan diberikan kepada hamba-Nya. Saya sangat yakin akan hal itu, keraguan dan kebimbangan tak pernah menghampiri hati dan pikiran saya.

Saya bersyukur karena tanah yang akan kami beli untuk nantinya didirikan rumah adalah tanah milik Paklek saya sendiri. Kami mendapat harga yang bisa dikategorikan ”harga miring”.

Jumlah uang yang ada pada saat itu kami hitung, dan ternyata masih pas-pasan.

Singkat cerita, saya mengambil keputusan untuk ikut serta dalam berlangsungnya proses pembangunan. Mencoba hal yang baru yang sebelumnya belum pernah saya kerjakan.

”Saya menjadi seorang kuli bangunan”.

Kerja Tanpa dibayar

pexels.com

Seperti pada umumnya, pekerjaan Kuli Bangunan adalah pekerjaan yang menguras energi. Semua hal yang terkait dengannya selalu membutuhkan tenaga ekstra.

Setiap jam 07:00 pagi, saya telah berpakaian menggunakan celana dan baju ala kadarnya yang dilengkapi sepatu khas pekerja kasaran. Saya sudah siap untuk melakukan pekerjaan berat itu. Kepala saya sudah terlindungi oleh topi berwarna hitam yang disebagian titiknya sudah terlihat agak pudar.

Pak Tukang yang kami percayakan untuk menyelesaikan gubuk yang akan kami tempati sudah datang dengan membawa alat-alat penunjang produktivitas mereka.

Saya bekerja dengan instruksi yang diberikan oleh Pak Tukang. Jadinya, saya hanya manut oleh arahan darinya. “Sami’na wa atho’na”.

Poin utama yang terkandung dalam hal ini adalah saya melakukan itu semua tanpa mendapat gaji sedikitpun. Namanya juga kerja di rumah sendiri, jadi ya wajar-wajar saja kalau ngga dapat bayaran. Toh manfaatnya juga saya yang ngerasain.

Lembur Jam Malam

pixabay.com

Sangking terlalunya ingin punya rumah sendiri, saya beberapa kali sempat bekerja pada saat malam hari. Disaat para tetangga yang lain menikmati jam istirahat malam, saya lebih asyik dengan dunia perkulian yang saya jalani.

Jadi selama rumah saya belum selasai dikerjakan, saya bersama Ibu saya tinggal di rumah milik Bibi saya. Kami pada waktu itu harus merasakan sedikit umpel-umpelan, karena dalam satu rumah ( yang ukurannnya relatif kecil) ditempati oleh orang yang cukup banyak.

Pada saat pondasi rumah baru didirikan, saat itu juga saya meyibukkan diri dimalam harinya untuk melakukan pekerjaan yang sekiranya bisa saya handle tanpa harus dimonitori oleh Tukang.

Malam itu saya melakukan pekerjaan yang tidak terlalu berat (dalam kategori pekerjaan bangunan), saya hanya menyusun besi dan membuat kerangka untuk dijadikan tiang penyangga yang nantinya akan dicor pada keesokan harinya.

Karena hanya sendirian, saya biasanya mulai lembur setelah sholat isya dan kebanyakan selesai sekitar jam 22:00 sampai dengan 23:00 WIB.

Hampir Ikut Nggarap Sebuah Proyek di Riau

pexels.com

Saya pada saat itu, pernah diajak oleh seorang Tukang (yang juga turut berkontribusi dalam penyelesaian rumah saya) untuk ikut dengannya pergi ke Riau.

Pak Paino, itu adalah nama seorang Tukang yang memberikan tawaran untuk pergi bersamanya mengerjakan suatu proyek. Pak Paino sebenarnya masih mempunyai hubungan persaudaraan dengan saya, tetapi saudara jauh.

Tawaran itu saya dapatkan ketika beliau masih bekerja di rumah Bibi saya. Kebetulan saat itu saya juga sesekali turut membantu pengerjaan rumah Bibi saya yang sedang dibangun.

Kemudian terjadilah obrolan-obrolan antara kami (saya dan Pak Paino), beliau menceritakan kepada saya bahwa sedang ada sebuah proyek yang cukup besar di Daerah Riau. Proyek itu antara lain : Menyelesaikan sebuah bandara, dan membangun hotel.

Sebelum saya menyetujui ajakan dari Pak paino, terlebih dahulu saya mengkonsultasikan hal itu kepada Ibu saya.

Gagal Berangkat

pexels.com

Hari itu adalah hari dimana saya meminta nasihat dari Ibu saya mengenai ajakan untuk pergi ke Riau. Saya mengatakan tentang semua hal yang telah diceritakan oleh Pak Paino. Mulai dari gaji hingga detail proyek tersebut, semuanya lengkap saya ceritakan.

Ibu saya saat itu sebenarnya juga masih bimbang, antara iya atau tidak.

Beliau ingin mempertimbangkan terlebih dahulu, Ibu saya tidak mau kalau nantinya memberikan suatu keputusan yang salah. Sehingga akan berpengaruh pada masa depan yang akan saya miliki.

Saya sih sebenarnya sudah fix akan pergi ke perantauan, tetapi saya tidak ingin jika pergi dengan tanpa membawa restu dari orang tua saya. Saya pasrah dengan itu, jika diizinkan ya berangkat kalau tidak ya ngga berangkat. Gitu aja.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, saya akhirnya ngga jadi pergi ke Riau.

Mendapat Tawaran Nguli dari Tetanggga

pixabay.com

Jadi ceritanya itu bermula ketika rumah saya telah selesai dikerjakan dan telah siap untuk dihuni. Waktu itu, saya sedang berjalan-jalan santai di jalanan yang berada tidak jauh dari rumah saya. Sekembalinya saya dari jalan-jalan, ada seorang tetangga saya menghampiri. Tetangga saya yang kali ini menghampiri adalah seorang Tukang Bangunan.

“Ham, koen gelem tah melok aku nggarap neng omah e Pak Wo (seorang Kepala Dusun di daerah kami?”. Ajak seorang Tukang yang tadi menghampiri saya.

Maksudnya kurang lebih adalah si Pak Tukang menawarkan saya untuk ikut bersamanya mengerjakan sebuah proyek di rumah Kepala Dusun kami.

Karena posisi saya pada saat itu sedang tidak punya kegiatan alias nganggur, saya meng­-iyakan ajakan dari bapak tersebut. Nama tetangga saya itu adalah Pak Sunaryo atau sering tak panggil dengan “Pakyo”.

Rumah Pak Sunaryo hanya berjarak kurang dari 10 Meter dari posisi rumah saya, berada disebelah Timur dari letak rumah saya.

Pada beberapa hari setelahnya, saya mulai bekerja di rumah milik Kepala Dusun kami.

Tamat!!

 

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *