Susahnya Saat Musim Kemarau Telah Tiba

Karena saya bertempat tinggal di Indonesia, maka sesuatu yang selalu dijumpai dalam setiap tahunnya adalah dua hal berikut: pertama, musim hujan. Dan yang kedua, musim kemarau.

Iya, Indonesia adalah daerah tropis. Oleh karenanya, hanya memilki dua musim yang terus-menerus bergantian. Kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman pribadi saya saat merasakan musim kemarau.

Cerita ini saya ambil dari pengalaman saya ketika masih berada di Petaling (nama sebuah desa yang ada di Provinsi Jambi).

Mayoritas masyarakat di desa saya memanfaatkan air sumur untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Mencuci baju, mencuci piring, mandi dan memasak air, kami menggunakan air yang ada didalam sumur.

Nah, jika yang  sedang terjadi adalah musim kemarau seperti saat ini. Maka sebagian besar sumur milik para warga airnya menyusut. Bahkan, beberapa diantaranya sampai kekeringan total. Tak ada air yang masih tersisa dalam sumur mereka.

Keluarga saya termasuk dalam kategori yang (air sumurnya menyusut sampai kering). Jadinya, setiap datang musim kemarau kami melaluinya dengan kegiatan yang cukup menguras tenaga. Karena harus dua kali kerja.

Content

Mengambil Air dari Sumur Umum

Mengambil Air dari Sumur Umum
pixabay.com

Ketika malam telah tiba, saya harus segera melakukan eksekusi. Minimal, biasanya saya membawa jerigan air yang berkapasitas 20 Liter. Jerigen itu saya bawa dengan kedua tangan saya, artinya saya membawa 2 jerigen dalam satu kali jalan.

Tetapi, terkadang saya juga memakai angkong untuk membawa jerigen-jerigen yang nantinya akan diisi air tersebut.

Tergantung situasi, kalau angkong milik keluarga kami sedang tidak dipakai, maka saya lebih memilih membawa angkong untuk mengusung jerigen ke sumur umum. Karena jumlah jerigen yang akan dibawa bisa lebih banyak.

Buat kamu yang belum tahu, angkong itu adalah gerobak sorong yang biasanya digunakan untuk membawa barang. Googling aja deh, kalau belum dapat gambaran.

Disaat antrian sedang memanjang, saya harus menunggu lama. karena tidak sedikit warga yang juga akan mengisi air dalam jerigen yang mereka bawa.

Mendorong Angkong itu Berat Bro

Mendorong Angkong itu Berat Bro
pixabay.com

Ngangkong itu berat kamu ngga akan kuat, biar aku saja.

Kamu juga sudah tau, tahap selanjutnya setelah jerigen telah terisi penuh adalah saatnya untuk membawa kembali jerigen itu ke rumah.

Saya adalah seorang single fighter, semua pekerjaan itu saya lakukan tanpa ada seseorang yang turut membantu menyelesaikan. Mulai dari membawa jerigen ke Sumur Umum, ngantri, mengisi air kedalam jerigen, sampai tahap akhir saya lakukan sendiri tanpa adanya seorang stuntman.

Hehe, seperti main film aja pakai stuntman segala. Pokoknya, ya begitu deh. Suka dan duka selama dalam cerita ini saya tanggung sendiri, tanpa melibatkan orang lain didalamnya. Ya iyalah.

Kalau kamu pernah merasakan pengalaman yang saya alami ini, berarti kamu beruntung. Kamu beruntung karena bisa nge-gym tanpa harus pergi ke tempat gym. It’s free man. Hehe.

Karena pada basic nya saya adalah seseorang yang terbiasa dengan pekerjaan yang keras, maka saya tidak pernah mengeluh menjalaninya. Sejak kecil saya berada di lingkungan yang bisa dibilang mayoritas warganya berprofesi sebagai Buruh.

Pada saat angkong sedang berada dalam posisi berjalan, saya mendorongnya dengan sangat berhati-hati. Karena kalau tidak, angkong akan oleng kemudian roboh.

Mendorong gerobak sorong yang berisi jerigen air tidaklah sama dengan mendorong gerobak dengan isi benda lainnya. Dikarenakan adanya guncangan pada air didalam jerigen sehingga membutuhkan keseimbangan ketika memgemudikannya.

Kalau Sedang Kemarau Mandinya di Tempat Umum

mandi saat musim kemarau
pixabay.com

Mandi adalah suatu kegiatan yang rutin dilakoni oleh setiap orang pada umumnya. Kalau kamu jarang mandi, berarti kamu masuk kedalam kategori Manusia Langka (MANULA).

Saya sih engga termasuk.

Walaupun hanya sekali mandinya dalam sehari, hehe. Ngga ada alasan untuk tidak mandi walaupun musim sedang kemarau. Waktunya mandi ya tetap mandi. Benar ngga?.

Kalau kemaraunya tidak terlalu lama, biasanya saya mandinya masih bisa dilakukan di rumah, tetapi kemarau saat ini berlangsung lebih dari lima bulanan, air yang ada didalam sumur belakang rumah saya sudah surut.

Ayah saya dan para tetangga ketika dulu menggali sumur hanya sampai pada kedalaman tiga meteran dari permukaan tanah.

Kalau musim hujan sih, air didalam sumur isinya stabil. Tetapi, kalau kemarau telah melanda. Maka kami bingung mencari stock air untuk kebutuhan dalam setiap hari.

Sebenarnya bukan “bingung”, karena persedian air di sumur umum selalu ada saat musim kemarau, hanya saja kami harus mengusungnya terlebih dahulu ke rumah sebelum untuk digunakan memasak dan lain sebagainya.

Oh iya, kalau mandi saya tidak perlu mengusung air terlebih dahulu. Jika musim kemarau datang, saya mandinya di tempat pemandian umum yang berada tidak jauh dari rumah.

Sebenarnya Malu dilihat Orang

malu saat mandi
pixabay.com

Namanya juga di tempat umum, jadinya ya harus bareng-bareng. Mau ngga mau harus tetap bareng, malu ngga malu pun harus tetap bareng.

Saya sendiri adalah tipikal orang yang Pemalu. Kalau harus dihadapkan dengan keadaan yang seperti ini, saya menamakannya dengan “Perjuangan”. Iya, perjuangan menghadapi orang dikeramaian, perjuangan menahan malu yang saya rasakan, dan juga perjuangan  untuk tetap terlihat biasa saja dihadapan orang lain.

Tempat pemandian umum di dekat rumah saya adalah tempat dengan konsep terbuka. Kami mandi dengan tanpa ada sekatan yang bisa menutupi. Itulah sebabnya, saya merasakan malu yang kelewat batas.

Mungkin, kamu biasa saja merasakan hal semacam ini. Tetapi tetap saja, kamu bukanlah saya dan saya bukanlah kamu.

Setiap orang memiliki kepribadiannya masing-masing, bukankah begitu?

Menjelang sore hari, saya harus segera beranjak dari rumah menuju TKP, karena saya paham ketika musim kemarau tiba kerumunan orang memadati tempat Pemandian Umum. Kalau ngga ada acara lain, biasanya saya berangkat dari rumah sekitar jam 16:00.

Waktu itu pada suatu sore, saya akan pergi untuk mandi di tempat pemandian umum yang berada di dekat rumah. Namun ternyata ada sebuah insiden yang ngga saya inginkan.

Jadi begini, saat saya berada diperjalanan semuanya aman terkendali. Namun, ketika saya sebentar lagi akan sampai di tempat tujuan, tiba-tiba ada rasa yang ngga enak yang timbul saat itu juga.

“gak ono timbone lee..”

Kata seorang tetangga saya yang kebetulan ketika itu sudah terlebih dahulu berada di TPU (Tempat Pemandian Umum). Si tetangga ini memberi tahu saya, timba yang biasaya selalu ada di sumur TPU saat itu sedang entah dimana keberadaannya.

mission fails, saya ngga jadi mandi deh.

Bajunya Jangan Sering Ganti

ganti baju
pexels.com

Hal yang terakhir ketika musim kemarau adalah saya harus memakai baju dalam jangka lebih dari satu hari, minimal ya dua-tiga harian lah saya baru bisa ganti baju.

“lee, nek gawe kelambi ojo bolak-balik ganti yo, ibuk ewoh ngumbah e”.

Itu adalah quote ibu saya yang berlaku disaat musim kemarau saja, jika musim telah berganti masa aktif quote tersebut akan expired. Yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia maka artinya kurang lebih seperti berikut.

nak, kalau pakai baju jangan sering-sering ganti ya, ibu susah nyucinya”.

Posisi saya pada cerita ini saya masih berada di bangku Sekolah Dasar, jadinya semua pakaian kotor masih dicuciin oleh ibu saya. Mencuci baju secara mandiri baru saya lakukan saat telah menginjak bangku SMP.

 

Sekian, ceritanya ngga ada yang spesial sih. Gaya bahasanya juga masih berantakan. Maaf ya gaes kalau ngga nyaman sama tulisan saya.

See you in the next story.

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *